Tujuan pendidikan
nasional adalah mewujudkan pendidikan yang berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa (Allah SWT), berakhlak mulia, cakap, sehat, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Pencapaian tujuan
tersebut tidak cukup hanya dengan penguasaan materi saja, baik melalui
teori dan prakteknya, tetapi juga melalui pembianaan akhlak siswa. Upaya
penciptaan manusia yang paripurna seperti termaktub pada fungsi pendidikan
tidak hanya membutuhkan kompetensi guru dalam penguasaan materi dan
metode mengajar yang tepat, tetapi juga guru mampu memberikan
keteladanan dalam ucapan, sikap dan perilaku sehari-hari, utamanya ketika
dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Kepala sekolah
hendaknya dapat selalu menekankan kepada setiap guru, hendaknya mereka
bisa menjadi contoh, tidak hanya bagi keluarganya saja, tetapi juga bagi
masyarakat dan khususnya kepada para siswanya. Sikap guru harus dapat
menjadi ukuran bagi sikap siswa. Artinya, guru selalu menjadi barometer
sikap siswa. Kalau gurunya tidak baik sikapnya, biasanya siswanya lebih
parah lagi. Guru hendaknya dapat menunjukkan sikap yang sopan, ucapan yang
menyejukkan dan mempunyai pribadi yang menyenangkan semua siswanya, sehingga
siswa tidak menganggap guru sebagai pengawas yang menakutkan, tetapi dapat
menjadi teman, ayah dan kakak bagi siswa-siswanya.
Dalam upaya pembinaan
religiusitas perilaku siswa di sekolah, seorang guru dituntut untuk mampu
menjadi teladan bagi siswanya, utamanya dalam kehidupan sehari-hari. Cara
tersebut berangkat dari asumsi bahwa manusia terutama anak-anak dan
remaja suka meniru-niru, baik yang baik maupun yang buruk.
Al-Qur’an menjelaskan
dengan tegas tentang pentingnya pemberian contoh teladan terhadap manusia.
Ia menyuruh kita untuk mempelajari tindak tanduk Rasulullah SAW. dan
menjadikannya panutan yang paling utama. Muhammad Qutb, bahkan
mengisyaratkan bahwa pada diri Nabi, Allah menyusun suatu bentuk
sempurna, suatu yang hidup dan abadi sepanjang sejarah masih berlangsung.
Suri teladan dapat menjadi alat peraga langsung bagi peserta didik.
Bila guru yang memberi
contoh aplikasi nilai-nilai luhur agama, maka peserta didik akan
mempercayainya, karena yang mencontohkannya adalah orang kedua yang
dipercayainya sesudah orang tuanya. Islam tidak menyajikan keteladanan
hanya sekedar dikagumi, tapi untuk diinternalisasikan, kemudian diterapkan
dalam pribadi masing-masing dalam kehidupan sosial-masyarakat. Diharapkan
setiap peserta didik mampu malayani nilai-nilai luhur agama sesuai dengan
kemampuan masing-masing
Konsep keteladanan guru inilah yang diterapkan di SD
Mutiara Islam. Semua SDM di SD Mutiara islam, baik tenaga kependidikan guru
maupun non guru adalah Guru. Semua adalah guru. Jadi, tenaga kebersihan pun adalah
juga guru, yang harus memberikan keteladanan sikap Islami kepada seluruh siswa
SD Mutiara islam.
Keteladanan, Sebuah Metode Pendidikan
Rasulullah
saw. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui
tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata.
Bagaimana memuja Allah swt., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk
dalam salat dan do’a, bagaimana makan, bagaimana tertawa, dan lain sebagainya,
menjadi acuan bagi para sahabat, sekaligus merupakan materi pendidikan yang
tidak langsung.
Mendidik dengan contoh
(keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya.
Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya, merupakan
cerminan kandungan Al-Qur’an secara utuh, sebagaimana firman Allah swt. dalam
surat al-Ahzab/33:21 yang sudah dikutip di atas. Adapun hadis tentang metode
keteladanan, yaitu:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا.
Artinya: Hadis dari
Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada kami dari Amir ibn Abdullah
ibn Zubair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi dari Abi Qatadah al-Anshâri, bahwa
Rasulullah saw. salat sambil membawa Umâmah binti Zainab binti Rasulullah saw.
dari (pernikahannya) dengan Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud,
beliau menaruhnya dan bila berdiri beliau menggendongnya. (al-Bukhâri, I, 1987:
193)
Asbab al-wurud, hadis
ini yaitu ketika itu orang-orang Arab sangat membenci anak perempuan.
Rasulullah saw. memberitahukan pada mereka tentang kemuliaan kedudukan anak
perempuan. Rasulullah saw. memberitahukannya dengan tindakan, yaitu dengan
menggendong Umamah (cucu Rasulullah saw.) di pundaknya ketika salat. Makna yang
dapat dipahami bahwa perilaku tersebut dilakukan Rasulullah saw. untuk
menentang kebiasaan orang Arab yang membenci anak perempuan. Rasulullah saw.
menyelisihi kebiasaan mereka, bahkan dalam salat sekalipun. (al-Asqalani, II,
1379H: 591-592). al-Hamd (2002: 27), mengatakan bahwa guru itu besar di mata
anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak didik
akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru
memberikan teladan yang baik.
Daftar Pustaka:
Al-Bukhâri, Ismâil,
Muhammad, Abu Abdullah. Al- Al-Jâmi’ al-Shahĩh al-Mukhtasar, Juz 1. Beirut: Dâr
Ibnu Kaşir al-Yamâmah, 1987
Al-Asqalâni, Abu
al-Fâdhil ibn Hajar, ibn Ali, Ahmad. Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri.
Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H.
Al- Hamd, bin Ibrahim,
Muhammad. Maal Muallimîn, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta: Dârul Hâq, 2002.
Sumber:
http://www.sdmutiaraislam.com/2011/11/pentingnya-keteladanan-guru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar