Nama : Afifah Rizki Yunitasari
NPM : 11144600103
BABAK BARU SENGKETA BATAS MARITIM di
TELUK BENGAL
Pada tanggal 16 Desember 2009, the International Tribunal
for the Law of the Sea-ITLOS (selanjutnya disebut Tribunal) mengumumkan bahwa
baru saja menerima berkas sengketa batas maritim antar negara untuk
diselesaikan. Sengketa tersebut melibatkan dua negara bertetangga di perairan
Teluk Bengal, yaitu Banglades dan Myanmar. Di luar itu, perlu dicatat bahwa
Banglades juga sedang mempersiapkan pengajuan sengketa batas maritimnya dengan
India ke Mahkamah Internasional. Ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati
dari sengketa-sengketa ini.
Pertama,
kasus antara Banglades dan Myanmar menjadi kasus delimitasi batas maritim
pertama yang ditangani oleh Tribunal. Sebelumnya Tribunal telah menerima dan
menyelesaikan 15 kasus di bidang hukum laut internasional. Sebagai latar
belakang, Tribunal dibentuk sebagai bagian dari tindak lanjut lahirnya Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang mana Tribunal memiliki kompetensi
untuk menyelesaikan berbagai sengketa terkait hukum laut internasional.
Kedua,
Myanmar menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk
menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur mahkamah internasional.
Sebagai catatan, beberapa negara ASEAN pernah bersengketa di mahkamah
Internasional terkait masalah kelautan dan kedaulatan, namun tidak pernah
terkait batas maritim. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang pernah
bersengketa di Tribunal tentang reklamasi pantai Singapura dan di Mahkamah
terkait kedaulatan beberapa karang dan elevasi surut di Selat Singapura.
Ketiga,
sengketa antara Banglades, India dan Myanmar pada dasarnya bermula dari usaha
kedua negara untuk menguasai sebagian perairan di Teluk Bengal yang sangat kaya
dengan cadangan minyak dan gas. Kedua negara telah menetapkan beberapa zona
blok konsesi migas di perairan yang mereka klaim, yang tentunya tidak diakui
oleh pihak lainnya.
Lebih
jauh lagi, juga dalam rangka mengamankan cadangan gas dan minyak di perairan
tersebut, para pihak juga melakukannya melalui forum internasional. Sebagai
contoh adalah India telah menyampaikan hak berdaulatnya terhadap wilayah dasar
laut (landas kontinen) di luar 200 mil laut dari garis pangkal kepada PBB. Hal
ini tentunya menuai keberatan dari Banglades yang langsung menyampaikan
keberatannya kepada PBB. Myanmar juga telah menyampaikan hal yang sama atas
landas kontinen ke PBB yang juga telah menuai keberatan dari Banglades.
Banglades sendiri pada saat ini sedang mempersiapkan pengajuannya kepada PBB
dengan melakukan survey dasar laut di Teluk Bengal dengan dana sampai dengan
11,77 juta dollar Amerika. Banglades berencana menyampaikan pengajuannya ke PBB
pada tahun 2011 yang kemungkinan juga akan diprotes oleh India dan Myanmar bila
sengketa belum terselesaikan.
Keempat,
dari sisi konfigurasi geografis Teluk Bengal, hal ini mengingatkan para
praktisi dan pengamat masalah batas maritim terhadap sengketa batas yang
terjadi pada 1969 antara Jerman, Belanda dan Denmark. Kasus ini lebih terkenal
disebut sebagai North Sea Case. Dalam kasus tersebut, para pihak meminta
mahkamah untuk memutuskan apakah prinsip penarikan garis batas melalui metode
sama jarak mutlak harus dilakukan. Jerman yang posisi geografisnya terjepit di
antara Belanda dan Denmark melihat bahwa prinsip tersebut sangat tidak
menguntungkan baginya. Hal ini karena apabila prinsip tersebut diberlakukan,
maka wilayah perairan Jerman akan sangat sempit dan tertutup tanpa akses ke
laut bebas oleh perairan Belanda dan Denmark. Pada keputusannya, mahkamah
merestui pendapat Jerman dan menyatakan bahwa metode sama jarak tidak mutlak
dilakukan. Keputusan ini menjadi tonggak lahirnya prinsip solusi yang adil atau
equitable solution di dalam hukum delimitasi batas laut internasional.
Terlepas
bahwa setiap wilayah maritim memiliki karakteristik yang berbeda, posisi
geografis Banglades yang terjepit diantara India dan Myanmar tentunya hampir
sama dengan apa yang dihadapi Jerman pada 1969. Hal ini pula yang memberi
gambaran secara teknis rumitnya perundingan antara Banglades dengan India dan
Myanmar. Mencari solusi yang adil tentunya jauh lebih sulit daripada menentukan
garis tengah sebagai batas karena definisi dan standar adil tentunya berbeda
bagi para pihak yang terlibat. Hal ini yang menjadi tantangan berat bagi
Tribunal. Akan sangat menarik melihat bagaimana Tribunal mengaplikasikan
equitable solution pada kasus ini.
Kelima,
Myanmar dan Banglades telah melakukan perundingan bilateral untuk menetapkan
batas diantara mereka selama lebih kurang 35 tahun. Hal ini menjadi salah satu
bukti bahwa perundingan batas maritim antar negara adakalanya dapat memakan
waktu yang cukup lama dan belum tentu menghasilkan garis batas yang diterima
para pihak. Sangat mungkin satu-satunya kesepakatan yang dicapai adalah
kesepakatan untuk mencari penyelesaian melalui pihak ketiga, termasuk melalui
Tribunal atau mahkamah internasional lainnya.
Komentar:
Menurut pendapat saya, perlu
diketahui masalah sebenarnya. Pihak manakah yang mengikuti aturan internasional
tentang batas suatu Negara. Tentunya setiap Negara memiliki wilayah dengan
batas-batasnya masing-masing yang telah disepakati mayarakat internasional. Ada
lembaga dunia yang mengurusi persengketaan masalah perbatasan negara, misalnya
mahkamah internasional. Seharusnya Negara yang lebih dahulu atau kuat memiliki
bukti bahwa suatu wilayah adalah wilayahnya-lah yang berhak mengakuinya. Perlu
adanya pihak ketiga atau pihak netral yang menengahi permasalahan batas
diantara dua negara.
Penyelesaian sengketa antarnegara dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu penyelesaian dengan cara damai dan kekerasan. Dalam penyelesaian
sengketa dengan cara damai, sengketa dapat diselesaikan melalui perundingan
dibawah PBB
Yang perlu digaris bawahi adalah keputusan untuk
menyelesaikan sengketa batas maritim melalui jalur pihak ketiga, seperti apa
yang dilakukan Banglades dan Myanmar, setidaknya tidak dilihat sebagai rusaknya
hubungan persahabatan antara para pihak yang bersengketa. Hal ini haruslah
dilihat sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai
sebagaimana yang diamanatkan oleh Piagam PBB demi menjaga perdamaian antara
para pihak secara khusus dan dunia secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar