Welcome to my blog !

Hello everyone, thank you for visiting my blog ^^v

Senin, 24 Desember 2012

Sengketa Batas Maritim di Teluk Bengal


Nama : Afifah Rizki Yunitasari
                                                               NPM : 11144600103

BABAK BARU SENGKETA BATAS MARITIM di TELUK BENGAL


Pada tanggal 16 Desember 2009, the International Tribunal for the Law of the Sea-ITLOS (selanjutnya disebut Tribunal) mengumumkan bahwa baru saja menerima berkas sengketa batas maritim antar negara untuk diselesaikan. Sengketa tersebut melibatkan dua negara bertetangga di perairan Teluk Bengal, yaitu Banglades dan Myanmar. Di luar itu, perlu dicatat bahwa Banglades juga sedang mempersiapkan pengajuan sengketa batas maritimnya dengan India ke Mahkamah Internasional. Ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati dari sengketa-sengketa ini.
Pertama, kasus antara Banglades dan Myanmar menjadi kasus delimitasi batas maritim pertama yang ditangani oleh Tribunal. Sebelumnya Tribunal telah menerima dan menyelesaikan 15 kasus di bidang hukum laut internasional. Sebagai latar belakang, Tribunal dibentuk sebagai bagian dari tindak lanjut lahirnya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang mana Tribunal memiliki kompetensi untuk menyelesaikan berbagai sengketa terkait hukum laut internasional.
Kedua, Myanmar menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur mahkamah internasional. Sebagai catatan, beberapa negara ASEAN pernah bersengketa di mahkamah Internasional terkait masalah kelautan dan kedaulatan, namun tidak pernah terkait batas maritim. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang pernah bersengketa di Tribunal tentang reklamasi pantai Singapura dan di Mahkamah terkait kedaulatan beberapa karang dan elevasi surut di Selat Singapura.

Ketiga, sengketa antara Banglades, India dan Myanmar pada dasarnya bermula dari usaha kedua negara untuk menguasai sebagian perairan di Teluk Bengal yang sangat kaya dengan cadangan minyak dan gas. Kedua negara telah menetapkan beberapa zona blok konsesi migas di perairan yang mereka klaim, yang tentunya tidak diakui oleh pihak lainnya.
Lebih jauh lagi, juga dalam rangka mengamankan cadangan gas dan minyak di perairan tersebut, para pihak juga melakukannya melalui forum internasional. Sebagai contoh adalah India telah menyampaikan hak berdaulatnya terhadap wilayah dasar laut (landas kontinen) di luar 200 mil laut dari garis pangkal kepada PBB. Hal ini tentunya menuai keberatan dari Banglades yang langsung menyampaikan keberatannya kepada PBB. Myanmar juga telah menyampaikan hal yang sama atas landas kontinen ke PBB yang juga telah menuai keberatan dari Banglades. Banglades sendiri pada saat ini sedang mempersiapkan pengajuannya kepada PBB dengan melakukan survey dasar laut di Teluk Bengal dengan dana sampai dengan 11,77 juta dollar Amerika. Banglades berencana menyampaikan pengajuannya ke PBB pada tahun 2011 yang kemungkinan juga akan diprotes oleh India dan Myanmar bila sengketa belum terselesaikan.
Keempat, dari sisi konfigurasi geografis Teluk Bengal, hal ini mengingatkan para praktisi dan pengamat masalah batas maritim terhadap sengketa batas yang terjadi pada 1969 antara Jerman, Belanda dan Denmark. Kasus ini lebih terkenal disebut sebagai North Sea Case. Dalam kasus tersebut, para pihak meminta mahkamah untuk memutuskan apakah prinsip penarikan garis batas melalui metode sama jarak mutlak harus dilakukan. Jerman yang posisi geografisnya terjepit di antara Belanda dan Denmark melihat bahwa prinsip tersebut sangat tidak menguntungkan baginya. Hal ini karena apabila prinsip tersebut diberlakukan, maka wilayah perairan Jerman akan sangat sempit dan tertutup tanpa akses ke laut bebas oleh perairan Belanda dan Denmark. Pada keputusannya, mahkamah merestui pendapat Jerman dan menyatakan bahwa metode sama jarak tidak mutlak dilakukan. Keputusan ini menjadi tonggak lahirnya prinsip solusi yang adil atau equitable solution di dalam hukum delimitasi batas laut internasional.
Terlepas bahwa setiap wilayah maritim memiliki karakteristik yang berbeda, posisi geografis Banglades yang terjepit diantara India dan Myanmar tentunya hampir sama dengan apa yang dihadapi Jerman pada 1969. Hal ini pula yang memberi gambaran secara teknis rumitnya perundingan antara Banglades dengan India dan Myanmar. Mencari solusi yang adil tentunya jauh lebih sulit daripada menentukan garis tengah sebagai batas karena definisi dan standar adil tentunya berbeda bagi para pihak yang terlibat. Hal ini yang menjadi tantangan berat bagi Tribunal. Akan sangat menarik melihat bagaimana Tribunal mengaplikasikan equitable solution pada kasus ini.
Kelima, Myanmar dan Banglades telah melakukan perundingan bilateral untuk menetapkan batas diantara mereka selama lebih kurang 35 tahun. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa perundingan batas maritim antar negara adakalanya dapat memakan waktu yang cukup lama dan belum tentu menghasilkan garis batas yang diterima para pihak. Sangat mungkin satu-satunya kesepakatan yang dicapai adalah kesepakatan untuk mencari penyelesaian melalui pihak ketiga, termasuk melalui Tribunal atau mahkamah internasional lainnya.
































Komentar:

            Menurut pendapat saya, perlu diketahui masalah sebenarnya. Pihak manakah yang mengikuti aturan internasional tentang batas suatu Negara. Tentunya setiap Negara memiliki wilayah dengan batas-batasnya masing-masing yang telah disepakati mayarakat internasional. Ada lembaga dunia yang mengurusi persengketaan masalah perbatasan negara, misalnya mahkamah internasional. Seharusnya Negara yang lebih dahulu atau kuat memiliki bukti bahwa suatu wilayah adalah wilayahnya-lah yang berhak mengakuinya. Perlu adanya pihak ketiga atau pihak netral yang menengahi permasalahan batas diantara dua negara.
Penyelesaian sengketa antarnegara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penyelesaian dengan cara damai dan kekerasan. Dalam penyelesaian sengketa dengan cara damai, sengketa dapat diselesaikan melalui perundingan dibawah PBB
Yang perlu digaris bawahi adalah keputusan untuk menyelesaikan sengketa batas maritim melalui jalur pihak ketiga, seperti apa yang dilakukan Banglades dan Myanmar, setidaknya tidak dilihat sebagai rusaknya hubungan persahabatan antara para pihak yang bersengketa. Hal ini haruslah dilihat sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai sebagaimana yang diamanatkan oleh Piagam PBB demi menjaga perdamaian antara para pihak secara khusus dan dunia secara umum.


           

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar